SEMOGA YANG KALIAN CARI ADA DI SINI YAAAA....
BAAROKALLOHU FIIKUM

Senin, 07 Juni 2010

Kekhususan Fathimah Rodhiyallaahu’anhaa Untuk Tidak Dimadu

Oleh Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah Al-Jabiri Hafidzahulloh

Diterjemahkan : Al-Ustadz Abu Karimah Askari Hafidzahulloh

Mengapa Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam melarang Ali Radiyallohu ‘anhu untuk menikahi wanita lain setelah menikahi anaknya beliau Shallallohu ‘alaihi wasallam (Fatimah, Pent). Apakah ucapan Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam “Sesungguhnya dia (Fatimah) adalah bagian dariku”, ini merupakan kekhususan bagi Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam?

Jawab:

Jawaban atas pertanyaan ini mengandung tiga sisi:

Sisi Pertama :

Bahwa Fatimah Radhiyallahu ‘anha adalah pemimpin wanita seluruh alam, berdasarkan nash Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam [1] dan berdasarkan ijma’ para ulama yang ucapannya diakui. Maka seorang wanita yang demikian kedudukannya sepantasnya untuk tidak dimadu, dan suaminya tidak menikahi yang lainnya tatkala dia masih hidup karena kedudukan ini yaitu sebagai seorang pemimpin wanita seluruh alam.

Sisi Kedua :

Bahwa ini termasuk kekhususan beliau Shallallohu ‘alaihi wasallam dan bila kita berkata bahwa ini termasuk kekhususan Fatimah Radhiyallahu ‘anha, maka tidak jauh (dari kebenaran). Karena Fatimah adalah anak Muhammad Shallallohu ‘alaihi wasallam. Inilah yang beliau isyaratkan dengan sabdanya : “Sesungguhnya dia (Fatimah) adalah bagian dariku”, yaitu : salah satu bagian dari diriku, sedangkan Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam, wajib untuk dijaga dari kemudharatan[2] meskipun sebagian mudharat tersebut pada selain beliau Shallallohu ‘alaihi wasallam, karena Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam memiliki kekhususan yang diharamkan kepada yang lainnya dari umatnya. Maka menghormati Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam di ats penghormatan yang lain dan mencintai beliau di atas setiap kecintaan.

Sisi Ketiga :

Bahwa Ali Radiyallohu ‘anhu menikahi wanita lain setelah dia (Fatimah) wafat sedangkan para sahabat yang lain, mereka berpoligami di masa hidup Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam, dan setelah wafatnya. Demikian pula para tabi’in, mereka berpoligami di masa hidup para sahabat Nab Shallallohu ‘alaihi wasallam, dan kaum muslimin di atas amalan ini hingga hari ini.

Catatan Kaki:

[1] Isyarat kepada hadits Aisyah yang panjang, dikeluarkan Muslim dalam shahihnya, no.2450. Kitab Fadhail Shahabah, bab :Fadhail Fatimah Binti An-Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam. Padanya Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda :”Wahai Fatimah, tidakkah engkau ridha untuk menjadi pemimpin wanita kaum mukminin atau pemimpin wanita umat ini?” Aisyah berkata: “(Fatimah) tertawa dengan hal itu.”

[2] Berkata An Nawawi Rahimahullah tatkala mengomentari Hadits Miswar bin Makhramah yang dikeluarkan oleh Imam Muslim (2449), Kitab : Fadhail Ash Shahabah, Bab : Fadhail Fathimah bintu An Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam Marfu’ah :

(( إِنَّمَا فَاطِمَةُ بَضْعَةٌ مِنِّي يُؤْذِينِي مَا آذَاهَا

”Sesungguhnya Fathimah adalah bagian dariku, menyakiti aku apa yang menyakitinya”. Berkata para ulama : dalam hadits ini menunjukkan haramnya menyakiti Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam dalam kondisi dan cara apapun, meskipun munculnya gangguan tersebut dari sesuatu yang asal hukumnya boleh dalam keadaan beliau masih hidup, dan ini berbeda dengan selain beliau. Mereka berkata : Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan tentang bolehnya menikahi bintu Abi Jahl bagi Ali Radiyallohu ‘anhu dengan sabdanya :’Aku tidak mengharamkan yang halal” namun beliau Shallallohu ‘alaihi wasallam melarang menggabungkannya (antara Fathimah dengan anak perempuan Abu Jahl) karena sebab yang disebut dalam nash :

Pertama : Bahwa hal itu menyebabkan disakitinya Fathimah sehingga Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam merasa sakit pula ketika itu. Maka menjadi binasa orang yang menyakitinya. Maka beliau melarang hal itu karena kesempurnaan kasih sayang beliau kepada Ali dan Fathimah Radhiyallahu ‘anhuma .

Kedua : Beliau mengkhawatirkan fitnah atas Fathimah dengan sebab kecemburuan. Adapula yang berkata :”Bukan maksud larangan untuk mengumpulkan keduanya. Namun maknanya : Bahwa Beliau Shallallohu ‘alaihi wasallam mengetahui dengan keutamaan dari Allah bahwa keduanya tidak mungkin disatukan.

Sumber: http://atstsabat.com/index.php?option=com_content&view=article&id=68:radiyallohu-anha-untuk-tidak-dimadu&catid=29:sunnah-poligami&Itemid=55

Bai’ul Murabah Lil Amiri Bisy Syira` (Jual Beli Keuntungan Bagi Yang Meminta Pembelian)

Jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian adalah bila seseorang (disebut pihak pertama) yang tidak memiliki uang tunai untuk membeli suatu barang maka ia pun datang kepada seorang pedagang atau pihak tertentu (disebut pihak kedua) yang mampu membelikan dan membayarkan untuknya barang tersebut secara tunai dari seorang penjual (disebut pihak ketiga) lalu pihak pertama membayar kepada pihak kedua secara kredit.

Hukumnya:
Kebanyakan ulama di zaman ini berpendapat bahwa jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian adalah boleh dengan ketentuan tidak disertai keharusan dari pihak kedua atas pihak pertama untuk membeli barang tersebut. Apabila ada keharusan maka hal tersebut masuk ke dalam kategori menjual sesuatu yang belum ia miliki dan ini adalah terlarang berdasarkan hadits Hakim bin Hizam secara marfu’ :
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Jangan kamu jual apa yang tidak ada disisimu (padamu)”. (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`i, Ibnu Majah dan lain-lainnya dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` 5/132/1292)
Maksudnya : Jangan kamu menjual apa yang bukan milikmu, belum kamu pegang atau di luar kemampuanmu.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz pada tanggal 16/6/1402 H bertepatan 10/4/1982 ditanya dengan nash berikut :
“Apabila seorang nasabah Bank Islamy berhasrat untuk membeli barang seharga 1.000 Riyal Saudi lalu ia memperlihatkan dan mensifatkannya (barang tersebut) kepadanya (bank tersebut,-pent.) dan berjanji untuk membelinya darinya secara keuntungan dengan kredit selama satu tahun dengan keuntungan sekadar 100 Riyal Saudi sehingga menjadilah total harganya 1.100 Riyal Saudi. Hal tersebut setelah Bank membelinya (barang tersebut) dari pemiliknya tanpa ada keharusan pada nasabah untuk menunaikan janjinya tersebut maupun tertulis. Bagaimana pendapat anda tentang mu’amalah ini ?”
Maka beliau menjawab : “Kalau kenyataannya seperti yang disebut dalam pertanyaan maka tidak haraj (dosa, ganjalan) dalam mu’amalah tersebut apabila barang telah tetap dalam kepemilikan Bank Islamy dan ia telah mengambilnya dari kepemilikan penjual (hal ini,-pent) berdasarkan dalil-dalil syari’at. Mudah-mudahan Allah memberi Taufiq kepada semuanya”. (Dari kitab Bai’ul Murabah karya Al-Asyqor hal. 52 melalui perantara Bai’ul Murabah Lil Amiri Bisy Syira` karya DR. Hisamuddin ‘Ifanah)

Dan Syaikh Sholih Al-Fauzan ditanya dengan pertanyaan berikut :
“Seseorang datang kepadaku dan ia berkata saya butuh sejumlah uang dan ia meminta kepadaku agar saya pergi bersamanya kesuatu tempat supaya saya membelikan untuknya mobil kemudian ia akan menjualnya dan mengambil harganya dengan (ketentuan) ia akan melunasinya kepadaku dengan taqsith (cicilan) bulanan. Saya tidak punya tempat penjualan mobil tapi siapa yang datang kepadaku menginginkan uang untuk ia pakai nikah atau membangun rumah maka saya pun pergi bersamanya ke suatu tempat penjualan mobil dan saya belikan untuknya mobil dengan harga 40 ribu Riyal –misalnya- dan ia menjualnya dengan (harga) 38 ribu Riyal dan saya mencatat (kewajiban) atasnya senilai 55 ribu riyal atau 60 ribu riyal dengan (ketentuan) ia membayarnya dalam bentuk taqsith bulanan ?”.
Maka beliau menjawab : “Hukum pada seperti mu’amalah ini adalah apabila tidak terdapat dari engkau akad bersamanya sebelum pembelian mobil bahkan terdapat janji (saja) -misalnya- atau terdapat saling paham dan belum ada akad kemudian engkau pergi dan membeli mobil lalu engkau jual kepadanya setelah engkau beli dan engkau pegang maka tidak haraj (dosa, ganjalan) pada hal itu adapun kalau penjualanmu kepadanya sudah terjadi sebelum engkau membeli mobil lalu engkau pergi dan membeli mobil itu maka ini tidaklah boleh berdasarkan sabda beliau shollallahu ‘alahi wa sallam kepada Hakim bin Hizam “Jangan kamu jual apa yang tidak ada disisimu (padamu)”…….” (Al-Muntaqa: 4/136/no. 140)

Dan dalam keputusan Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy no. 40, 41 point pertama -sebagaimana dalam Taudhihul Ahkam 4/377 (cet. Kelima)- disebutkan bahwa: “Sesungguhnya jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian apabila terjadi pada barang setelah masuk kedalam kekuasaan orang yang dimintai (pihak kedua,-pent.) dan setelah terdapat kepemilikan yang diinginkan secara syari’at maka ia adalah jual beli yang boleh sepanjang terbebankan atas orang yang dimintai (pihak kedua) tanggung jawab kerusakan sebelum penyerahan dan rentetan pengembalian karena aib yang tersembunyi dan semisalnya dari hal-hal yang mengharuskan pengembalian setelah penyerahan dan telah terpenuhi syarat-syarat jual beli dan telah tiada penghalang-penghalangnya”.

Di pihak lain, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berpendapat tentang haramnya jual beli keuntungan bagi peminta transaksi. Dalam kitab Asy-Syarh Al-Mumti’ 8/224, beliau menyatakan : “Dan dari masalah-masalah (baca : bentuk-bentuk) Al-‘Inah atau dari hilah (tipu daya) untuk riba adalah apa yang dilakukan oleh sebagian manusia pada hari ini, (yaitu) tatkala ia butuh mobil kemudian ia pergi kepada seorang pedagang dan berkata saya butuh mobil begini di tempat penjualan mobil begini maka pergilah si pedagang lalu membeli mobil dari tempat penjualan mobil itu dengan suatu harga kemudian ia menjualnya dengan yang lebih banyak dari harganya kepada orang yang butuh mobil sampai ke suatu waktu (secara kredit,-pent.) maka ini adalah hilah yang sangat jelas untuk melakukan riba…”. Dan semisal dengan itu keterangan beliau dalam ketika menjawab pertanyaan no. 501 dalam silsilah Liqo`ul Maftuh.

Tarjih Dan Kesimpulan:
Sebenarnya penamaan masalah ini dengan nama jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian adalah penamaan yang baru muncul pada abad belakangan ini, namun hakikatnya sudah terbahas di kalangan para Imam fiqih terdahulu. Karena itu sebahagian penulis dalam masalah ini menukil bolehnya jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian sebagai pendapat dari madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah. Karena itu pembolehan jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian adalah yang paling kuat dalam masalah ini tapi dengan beberapa ketentuan yang bisa disimpulkan berdasarkan pembahasan diatas; yaitu :
1. Tidak ada keharusan bagi pihak pertama kepada pihak kedua untuk membeli barang tersebut darinya (pihak kedua).
2. Tanggung jawab rusaknya barang atau mengembalikannya bila ada kekurangan atau cacat ditanggung oleh pihak kedua.
3. Akad transaksi bersama pihak pertama bila barang telah dimiliki dan dipegang oleh pihak kedua.

Baca : Taudhihul Ahkam 4/377-378, Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh oleh Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih, Buhuts Li Ba’dh An-Nawazil Al-Fiqhiyah Al-Mu’ashiroh dan Bai’ul Murabah Lil Amiri Bisy Syira` karya DR. Hisamuddin ‘Ifanah.

Perlakukanlah Anak Kita dengan Baik

jika anak di besarkan dengan cemoohan , ia belajar rendah diri

jika anak di besarkan dengan penghinaan , ia belajar menyesali diri

jika anak di besarkan dengan toleransi , ia belajar menahan diri

jika anak di besarkan dengan dorongan , ia belajar percaya diri

jika anak di besarkan dengan pujian , ia belajar menghargai

jika anak di besarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadlian

jika anak di besarkan dengan rasa aman, ia belajar kepercayaan

jika anak di besarkan dengan dukungan , ia belajar menyenangi diri

jika anak di besarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan
jangan salah dalam mendidik anak
karna anak adalah harta karun para orangtua
baik sekarang maupun nanti

didiklah mereka dengan kasih sayang
kasih sayang yang tulus dan ikhlas
agar anak menjadi generasi penerus yang cemerlang

http://www.kaskus.us/showthread.php?t=4321579

Kunci-Kunci Surga

Oleh: Al Ustadz Agus Su’aidi)*

Ibarat sebuah pintu, surga membutuhkan sebuah kunci untuk membuka pintu-pintunya. Namun, tahukah Anda apa kunci surga itu? Bagi yang merindukan surga, tentu akan berusaha mencari kuncinya walaupun harus mengorbankan nyawa.

Tetapi Anda tak perlu gelisah, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan pada umatnya apa kunci surga itu, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits yang mulia, beliau bersabda:

“Barang siapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah dengan penuh keikhlasan, maka dia akan masuk surga.“ (HR. Imam Ahmad dengan sanad yang shahih).

Ternyata, kunci surga itu adalah Laa ilaahaa illallah, kalimat Tauhid yang begitu sering kita ucapkan. Namun semudah itukah pintu surga kita buka? Bukankah banyak orang yang siang malam mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, tetapi mereka masih meminta-minta (berdoa dan beribadah) kepada selain Allah, percaya kepada dukun-dukun dan melakukan perbuatan syirik lainnya? Akankah mereka ini juga bisa membuka pintu surga? Tentu tidak mungkin!

Dan ketahuilah, yang namanya kunci pasti bergerigi. Begitu pula kunci surga yang berupa Laa ilaaha illallah itu, ia pun memiliki gerigi. Jadi, pintu surga itu hanya bisa dibuka oleh orang yang memiliki kunci yang bergerigi.

Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya (3/109), bahwa seseorang pernah bertanya kepada Al Imam Wahab bin Munabbih (seorang tabi’in terpercaya dari Shan’a yang hidup pada tahun 34-110 H), “Bukankah Laa ilaaha illallah itu kunci surga?” Wahab menjawab: “Benar, akan tetapi setiap kunci yang bergerigi. Jika engkau membawa kunci yang bergerigi, maka pintu surga itu akan dibukakan untukmu!”

Lalu, apa gerangan gerigi kunci itu Laa ilaaha illallah itu?

Ketahuilah, gerigi kunci Laa ilaaha illallah itu adalah syarat-syarat Laa ilaaha illallah. Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qashim Al Hambali An-Najdi rahimahullah, penyusun kitab Hasyiyyah Tsalatsatil Ushul, pada halaman 52 kitab tersebut menyatakan, syarat-syarat Laa ilaaha illallah itu ada delapan, yaitu:

Pertama: Al ‘Ilmu (mengetahui)
Maksudnya adalah Anda harus mengetahui arti (makna) Laa ilaaha illallah secara benar. Adapun artinya adalah: “Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barang siapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, niscaya dia akan masuk surga.” (HR. Muslim).

Seandainya Anda mengucapkan kalimat tersebut, tetapi Anda tidak mengerti maknanya, maka ucapan atau persaksian tersebut tidak sah dan tidak ada faedahnya.

Kedua: Al Yaqin (Meyakini)
Maksudnya adalah Anda harus menyakini secara pasti kebenaran kalimat Laa ilaaha illallah tanpa ragu dan tanpa bimbang sedikitpun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah sambil membawa dua kalimat syahadat tersebut tanpa ragu kecuali pasti dia akan masuk surga.” (HR. Muslim).

Ketiga: Al Qobul (Menerima)
Maksudnya Anda harus menerima segala tuntunan Laa ilaaha illallah dengan senang hati, baik secara lisan maupun perbuatan, tanpa menolak sedikit pun. Anda tidak boleh seperti orang-orang musyirik yang digambarkan oleh Allah dalam Al Qur’an:

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ * وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ

“Orang-orang yang musyrik itu apabila di katakan kepada mereka: (ucapkanlah) Laa ilaaha illallah, mereka menyombongkan diri seraya berkata: Apakah kita harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kita hanya karena ucapan penyair yang gila ini?” (Ash Shaffat: 35-36).

Keempat: Al Inqiyad (Tunduk Patuh)
Maksudnya Anda harus tunduk dan patuh melaksanakan tuntunan Laa ilaaha illallah dalam amal-amal nyata. Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ

“Kembalilah ke jalan Tuhanmu, dan tunduklah kepada-Nya.“ (Az-Zumar: 54).

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى

“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada ikatan tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah).” (Luqman: 22).

Kelima: Ash Shidq (Jujur atau Benar)
Maksudnya Anda harus jujur dalam melaksanakan tuntutan Laa ilaaha illallah, yakni sesuai antara keyakinan hati dan amal nyata, tanpa disertai kebohongan sedikit pun.

Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

“Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dia mengucapkannya dengan jujur dari lubuk hatinya, melainkan pasti Allah mengharamkan neraka atasnya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Keenam: Al Ikhlas (Ikhlas)
Maksudnya Anda harus membersihkan amalan Anda dari noda-noda riya’ (amalan ingin di lihat dan dipuji oleh orang lain), dan berbagai amalan kesyirikan lainnya.

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah semata-mata hanya untuk mengharapkan wajah Allah Azza wa Jalla.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Ketujuh: Al Mahabbah (Cinta)

Maksudnya Anda harus mencintai kalimat tauhid, tuntunannya, dan mencintai juga kepada orang-orang yang bertauhid dengan sepenuh hati, serta membenci segala perkara yang merusak tauhid itu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Dan di antara manusia ada yang menbuat tandingan-tandingan (sekutu) selain Allah yang dicintai layaknya mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman, sangat mencintai Allah di atas segala-galanya).” (Al-Baqarah: 165).

Dari sini kita tahu, Ahlut Tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan ahlus syirik mencintai Allah dan mencintai tuhan-tuhan yang lainnya. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan isi kandungan Laa ilaaha illallah.(ed,).

Kedelapan: Al Kufru bimaa Siwaahu (Mengingkari Sesembahan yang Lain)

Maksudnya Anda harus mengingkari segala sesembahan selain Allah, yakni tidak mempercayainya dan tidak menyembahnya, dan juga Anda harus yakin bahwa seluruh sesembahan selain Allah itu batil dan tidak pantas disembah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan:

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا

“Maka barang siapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh pada ikatan tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah), yang tidak akan putus….” (Al-Baqarah: 256).

Saudaraku kaum muslimin, dari sini dapatlah kita ketahui, bahwa orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah hanya dengan lisannya tanpa memenuhi syarat-syaratnya, dia bagaikan orang yang memegang kunci tak bergerigi, sehingga mustahil baginya untuk membuka pintu surga, walaupun dia mengucapkannya lebih dari sejuta banyaknya. Karena itu perhatikanlah!

Wallahu a’lamu bish shawwab.

)* Penulis -hafizhahullah- adalah Pimpinan Pondok Pesantren Al Bayyinah Sidayu Gresik

http://blog.wira.web.id/2010/02/10/kunci-surga

Jumat, 04 Juni 2010

Apakah Wasathiyah itu?

Dakwah Salafiyah Dakwah Wasathiyah (Pertengahan)

Manhaj dan dakwah Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersifat wasathiyah (pertengahan) antara dua sisi: yang ekstrem dan yang meremehkan (teledor). Sifat ini adalah sifat yang lazim dan terus-menerus ada pada dakwah dan manhaj mereka, karenanya mereka menjadi umat yang terbaik.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا كُمْ أُمَّةً وَسَطًا

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan.” (QS Al Baqarah: 143)

Karenanya, mereka mencela orang-orang yang ekstrem dalam beragama, sebab hal tersebut adalah sunnahnya ahlul kitab. Sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala nyatakan, “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.” (QS An-Nisa`: 171, Al Maidah: 77)

Allah ‘azza wa jalla juga telah menegaskan, “Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melampauinya (melanggarnya).” (QS Al Baqarah: 229)

Pimpinan mereka juga telah bersabda:

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ

“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidak ada seseorangpun yang ekstrem (dalam beragama), kecuali dia sendiri yang akan terkalahkan”. (HR Al Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ta’ala ‘anhu)

Beliau juga bersabda:

وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ

“Waspadalah kalian dari ghuluw (ekstrem) dalam agama, karena tidaklah menghancurkan orang-orang sebelum kalian kecuali ghuluw dalam beragama.” (HR An Nasa`i, Ibnu Majah, dan Ahmad dari Ibnu Abbas radhiyallahu ta’ala ‘anhu dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahihul Jami’ no. 2680)

Di sisi lain, mereka juga menegur dan memperingatakan orang-orang yang meremehkan perkara agama, karena Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.” (QS Al Baqarah: 187)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:

وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي

“Telah dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi siapa saja yang menyelisihi perintahku.” (HR Ahmad dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ta’ala ‘anhuma dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahihul Jami’ no. 2831)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Al ‘Aqidatul Wasithiyyah, “Bahkan mereka (Ahlussunnah wal Jama’ah) bersikap pertengahan di antara kelompok-kelompok umat ini (Islam) sebagaimana umat (Islam) ini bersikap pertengahan di antara umat-umat yang lain (non muslim). Maka mereka bersikap pertengahan dalam masalah sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala antara ahlut ta’thil (orang-orang yang menafikan sifat Allah) dan Jahmiah dengan ahlut tamtsil (orang-orang yang menyerupakan dengan makhluk) dan musyabbihah. Mereka bersikap pertengahan dalam masalah perbuatan-perbuatan hamba, antara Jabriyah dengan Qadariyah dan selain mereka. Dalam masalah ancaman Allah (mereka pertengahan), antara Murji’ah dan Al Wa’idiah dari kalangan Qadariyah dan selain mereka. Dalam masalah penamaan iman dan agama, antara Haruriyah (Khawarij) dengan Mu’tazilah dan antara Murji’ah dengan Jahmiyah. Dalam (masalah) sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam antara Rafidhah (Syi’ah) dengan Khawarij.”

Mereka juga berada di pertengahan dalam masalah bersikap terhadap pemerintah yang zhalim, antara Khawarij yang mengkafirkannya dan Murji’ah yang mengatakannya sebagai mu’min sejati. Dalam masalah bersikap kepada para ulama, mereka berada antara para muqallid (tukang taqlid) yang mengambil semua ucapan imam mazhab mereka, tanpa terkecuali; dan antara Sururiyah dan Haddadiyah yang mencerca, meremehkan dan menganggap rendah para ulama.

http://ummuyahya.wordpress.com/perihal/

Bolehkah Wanita Bercadar Foto Paspor dengan Buka Cadar?

Bolehkah Wanita Bercadar Foto Paspor dengan Buka Cadar?

Pertanyaan:

Bismillah,

Assalamu ‘alaikum ya Ustadz. Langsung saja bertanya, karena ana orang baru, ‘afwan kalau pertanyaan ini sudah pernah ditanyakan sebelumnya.

Ana ada titipan pertanyaan dari teman yang tinggal jauh di pelosok Kalimantan, di mana mereka kalau ke Malaysia lebih cepat daripada ke kota besar di Kalimantan, sehingga kalau ada keperluan berobat mereka lebih bisa ke luar negeri daripada ke kota Indonesia sendiri (2 jam ke luar negeri dibandingkan 8 jam ke kota Indonesia dengan jalan yang rusak). Isteri beliau bercadar, dan yang menjadi kendala adalah kalau foto paspor harus dibuka cadarnya. Apa hukumnya mengenai hal ini?

Saat ini isteri beliau agak sakit dan perlu cek ke laboratorium sesekali, sehingga pilihan ke luar negeri kalau kondisi darurat masih lebih bagus daripada sebaliknya. Jazakallahu khairan ya Ustadz, barakallahu fiik. Wassalamu ‘alaikum warahmatullah.

(Pertanyaan dari Abu Rifqah, 24 Mar 2010)

Dijawab oleh Al Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi pada Kamis, 9 Rabi’uts Tsani (25 Maret, 2010):

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Insya Allah tidak masalah membuat paspor dengan keperluan yang disebutkan. Karena larangan menampakkan wajah bukanlah pengharaman dzati, tetapi pengharamannya karena bisa mengantar kepada hal yang diharamkan (sadda dzari’ah) yaitu karena bisa mengantar kepada perzinahan dan semisalnya.

Kaidahnya, “Hal yang diharamkan dengan bentuk saddu dzari’ah dibolehkan sesuai kadar keperluannya bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syari’at.”

Wallahu a’lam.

Sumber: Milis An-Nashihah, dengan sedikit perbaikan EYD

Hukum Menjual Jilbab Gaul

Oleh: Al Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi


Pertanyaan:

Apa hukumnya menjual jilbab gaul?

Jawaban:

Kalau berkaitan dengan masalah jilbab gaul ini, yang dimaksudkan adalah jilbab yang pendek misalnya—jilbab yang sebagian orang dikatakan tidak menutupi apa yang sepantasnya ditutupi—maka ini perlu saya ingatkan kepada sebagian ikhwah, jangan terlalu banyak menyoroti hal-hal yang seperti ini di tengah masa yang kebanyakan orang tidak memakai jilbab.

Ada di dalam syari’at kita itu apa yang disebut dengan nama taqlîlusy syarr, memperkecil kejelekan. Kalau kejelekannya tidak bisa dihilangkan diapakan? Diperkecil, bukan dibiarkan tapi diperkecil. Jadi, hal yang mengarah kepada memperkecil kejelekan, Antum jangan masuk ke dalamnya kemudian membuat hal tersebut menjadi kabur sebab ini akan menjadikan mafsadat [kerusakan] yang lebih besar.

Ini kadang saya ingatkan di dalam hal-hal yang seperti ini. Kadang ada sebagian dari kawan-kawan kita berbicara misalnya tentang bank-bank syari’ah.

“Oh, ini bank syari’ah… kelihatannya lebih bejat daripada bank konvensional!”

Ini bahasa-bahasa yang seperti ini tidak bagus untuk diucapkan. Walaupun benar pada sebagian keadaan bank syari’ah itu kadang lebih jelek daripada bank konvensional dalam mengambil hal. Tapi mereka ini ada dua kemungkinan, mereka mungkin sengaja untuk hila mencari riba atau mereka mungkin salah jalan, salah langkah. Tapi tatkala mereka menyebut dengan nama syari’ah dan kita komentarnya tajam, akhirnya orang akan berpikir, “Wah, bank syari’ah saja dikomentari apalagi yang lain, kalau begitu kita bebas aja sudah berbuat riba.” Akhirnya membuka pintu kejelekan.

Jadi, ada yang disebut dengan taqlîlusy syarr, mempersedikit kejelekan. Dan ini kaidah—yang subhanallâh—kadang seseorang kurang memikirkannya, padahal ia adalah hal yang jelas dalam agama kita. Kaidah dasarnya seperti yang disebut oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan selainnya, agama kita itu datang untuk mewujudkan sebuah kemaslahatan atau menyempurnakannya, dan agama kita itu datang untuk menghilangkan mafsadat atau menguranginya. Itu kaidah umum di seluruh perintah-perintah agama.

Kalau saya ingin lebih rinci lagi, hal yang diperintah dalam agama kita itu ada tiga bentuknya. Ada hal yang menjaga Adh Dhururiyat Al Khamsah, lima perkara yang wajib untuk dipelihara, dan ada yang dinamakan dengan Al Hajiyat, perkara-perkara wajib yang melengkapi, dan ada yang dinamakan tahsiniyat, hal yang menyempurnakan. Ini harus dibedakan semua pintunya. Dan ini pembahasan di dalam agama kita dimaklumi. Dan ilmu ini dimaklumi di kalangan ahlul ‘ilmi. Dan fatwa-fatwa para ulama kita yang memberi fatwa di masa ini, di situlah letak indahnya.

Dan seperti yang saya katakan tadi, ada ilmu yang tidak bisa kita baca dari buku. Ada ilmu yang mereka miliki tidak ada di buku-buku tertulis. Seperti cara bagaimana mereka menerapkan fatwa sesuai dengan kaidah-kaidah syari’at, maksud dari syari’at secara umum, sebab mereka melihat fatwa itu bukan di masalah itu saja tapi mereka melihat di seluruh sudutnya. Itu baru [benar] orang yang memberikan fatwa. Tapi kalau ia hanya melihat di satu masalah, ini kadang ia tidak memberikan jawaban yang tepat.

Saya beri contoh misalnya, sebuah fatwa yang indah dari Syaikh Shalih Al Fauzan, pernah saya tanyakan kepada beliau tentang masalah orang yang bekerja di perpajakan. Kata beliau, tidak boleh ia bekerja di situ, hendaknya ia keluar darinya. Kecuali kata Syaikh, kalau ia keluar dari pekerjaannya akan membahayakannya. Maka tidak apa-apa ia bekerja sambil mencari pekerjaan lain. Kapan ia mendapat pekerjaan lain, segera ia keluar. Ini fatwa sedemikian lengkap, banyak sudut pertimbangan, bukan di satu masalah saja, bukan di hukum pajak saja. Kalau hukum pajak saja tidak boleh—selesai—tidak boleh bekerja, bukankah begitu. Tapi beliau melihat banyak sudut sebab manusia itu beraneka ragam keadaan, keperluan, dan masalah yang dihadapi. Dan ini—subhanallâh—nampak di lisan dari fatwa para ulama kita rahmatullâhi ‘alaihim jami’an.

Dan di antara yang indah juga, Syaikh Muqbil rahimahullâh pernah ditanya, misalnya berkaitan dengan masalah suami-istri apakah boleh seorang istri berbuat begini terhadap suaminya? Maka Syaikh menjawab, adapun dari sisi hukum bolehnya, ya boleh saja. Tapi dari sisi nasihat, saya nasihatkan, ia nasihati perempuan tersebut pada hal yang mengarah kepada kebaikannya. Ini baru [benar] seorang mufti memberikan jawaban. Ia tidak melihat di masalah itu saja, tapi ia melihat ke sudut-sudut lainnya yang membawa manfaat bagi orang yang bertanya. Dan tidak semua orang bisa berpikir seperti ini. Karena itulah tidak semua orang yang belajar, hafal Al Qur’an dan Hadits mampu mengeluarkan jawaban yang seperti ini.

(Ditranskrip oleh Muhammad Syarif Abu Yahya dari rekaman kajian ilmiah di Masjid Pogung Raya [MPR] Yogyakarta, 13 Rabiuts Tsani 1431 H/29 Maret 2010)

http://ummuyahya.wordpress.com/2010/04/06/hukum-menjual-jilbab-gaul/

Selasa, 01 Juni 2010

Keutamaan Qiyamullail (Shalat Malam)

Bismillaah,,,

Allah Ta’ala berfirman:
تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا
“Lambung-lambung mereka jauh dari pembaringan, karena mereka berdoa kepada Rabb mereka dalam keadaan takut dan berharap kepada-Nya.” (QS. As-Sajadah: 16)

Allah Ta’ala berfirman:
كَانُوا قَلِيلاً مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ. وَبِالأَسْحَارِهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan selalu memohon ampunan di waktu sahur (menjelang fajar).” (QS. Adz-Dzariyat: 17-18)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Seutama-utama puasa setelah ramadhan adalah puasa di bulan Muharram, dan seutama-utama shalat sesudah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)

Dari Abu Said Al Khudri dan Abu Hurairah radhiallahu anhuma mereka berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ اسْتَيْقَظَ مِنْ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ جَمِيعًا كُتِبَا مِنْ الذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ
“Barangsiapa yang bangun malam dan membangunkan istrinya kemudian mereka berdua melaksanakan shalat dua rakaat secara bersama, maka mereka berdua akan digolongkan ke dalam lelaki-lelaki dan wanita-wanita yang banyak berzikir kepada Allah.” (HR. Abu Daud no. 1309, Ibnu Majah no. 1335, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Misykah: 1/390)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلَاثَ عُقَدٍ يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ: عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ. فَإِنْ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ وَإِلَّا أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلَانَ
“Setan mengikat tengkuk kepala seseorang dari kalian saat dia tidur dengan tiga tali ikatan, dimana pada tiap ikatan tersebut dia meletakkan godaan, “Kamu mempunyai malam yang sangat panjang maka tidurlah dengan nyenyak.” Jika dia bangun dan mengingat Allah maka lepaslah satu tali ikatan, jika dia berwudhu maka lepaslah tali yang lainnya, dan jika dia mendirikan shalat maka lepaslah seluruh tali ikatannya sehingga pada pagi harinya dia akan merasakan semangat dan kesegaran yang menenteramkan jiwa. Namun bila dia tidak melakukan itu, maka pagi harinya jiwanya menjadi jelek dan menjadi malas beraktifitas”. (HR. Al-Bukhari no. 1142 dan Muslim no. 776)

Dari Jabir bin Abdillah dia berkata: Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ فِي اللَّيْلِ لَسَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ
“Sesungguhnya di waktu malam terdapat suatu saat, tidaklah seorang muslim mendapati saat itu, lalu dia memohon kebaikan kepada Allah ‘azza wajalla baik kebaikan dunia maupun akhirat, kecuali Allah akan memperkenankannya. Demikian itu terjadi pada setiap malam.” (HR. Muslim no. 757)

Penjelasan ringkas:
Di antara keutamaan qiyamullail berdasarkan dalil-dalil di atas adalah:
a. Mendapatkan pujian yang banyak dalam Al-Qur’an.
b. Hatinya akan terjaga dari kerusakan dan penyakit hati. Karena terlalu banyak tidur bisa menyebabkan rusaknya hati, karenanya dengan qiyamullail dia bisa mengurangi tidurnya.
c. Dia merupakan shalat sunnah yang paling utama.
d. Orang yang mengerjakannya secara berkesinambungan akan digolongkan ke dalam golongan orang-orang yang banyak berzikir kepada Allah.
e. Dia akan lepas dari gangguan setan di malam harinya.
f. Qiyamullail merupakan sebab baiknya jiwa, lapangnya dada, dan semangatnya anggota tubuh.
g. Orang yang mengerjakannya berkesempatan mendapatkan 1/3 malam terakhir yang merupakan waktu dimana doa akan dikabulkan. Dan sebaik-baik doa saat itu adalah permohonan ampun akan semua dosa-dosa, sebagaimana yang diisyaratkan dalam surah Adz-Dzariyat di atas.

www.al-atsariyyah.com